PENCERAHAN MINGGUAN (SIRI 7) : JANGAN MARAH, KAMU AKAN MASUK SYURGA


02610005 copyعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Dari Abu Hurairah r.a bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW : “Berilah aku pesanan”. Baginda menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi SAW bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri]

SYARAH HADITH
Sahabat yang meminta pesanan dalam hadith ini bernama Jariyah bin Qudamah r.a. Ia meminta pesanant kepada Nabi SAW dengan satu pesanan yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi SAW berpesan kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahawa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikankan .Marah adalah bara yang dicampakkan syaitan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.

DEFINISI MARAH
Marah ialah bersemaraknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang dibimbangi terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya.

Marah amat seringkali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul, melempar barang yang bolih pecah , menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezaliman dan permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bolih jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syara’, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqâlani berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bolih hilang dari perilaku kebiasaan manusia

Yang dimaksud dengan hadith di atas adalah marah yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerosakan.

Di dalam Al-Qur`ân disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah yang dinisbahkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah dan murka kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang melanggar batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang bermaksud:

“Dan supaya Dia menyiksa orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (azab) yang buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat kembali”. (Al Fatah-48:6)

Di dalam hadith yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah SWT sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan saat itu baik sebelum maupun sesudahnya.

Setiap muslim wajib mengisbatkan sifat marah bagi Allah, tidak boleh mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh menyamakan dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirmanyang bermaksud:

“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat” (As Syura-42:11)

Sifat marah bagi Allah Azza wa Jalla merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang wajib ditempuh oleh setiap muslim.

Adapun marah yang dinisbahkan kepada makhluk; ada yang terpuji ada pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah dalam membela agama dengan ikhlas, membela hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW baginda marah karena ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka baginda marah. Begitu pula marahnya Nabi Musa a.s dan marahnya Nabi Yunus a.s. Adapun yang tercela apabila dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melanggar batas.

Dalam hadith di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.

Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala keburukkan” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah, “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.

Sabda Rasulullah SAW, “Engkau jangan marah “ kepada orang yang meminta wasiat kepada baginda mengandung dua hal.

Pertama. Maksud dari perintah baginda ialah perintah untuk memiliki sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah hati, penyantun, malu, tawadhu’, sabar, menahan diri dari mengganggu orang lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak baik yang seumpama nya.

Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia ini dan menjadi kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada saat timbul berbagai sebabnya.

Kedua. Maksud sabda Nabi SAW ialah, “Engkau jangan melakukan tuntutan marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu untuk tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya.” Sebab, apabila amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang memerintah dan yang melarangnya.

Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’alayang bermaksud:
“Dan setelah amarah Musa mereda… “( al A’raf-7 : 154]

Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan dirinya berusaha untuk itu, maka kebrukkan amarah dapat tercegah darinya, bahkan bolih jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang sehingga seolah-olah ia tidak marah.

Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân dengan firman-Nya yang bermaksud:

“… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf” [asy-Syûrâ-42 : 37]

Juga firman-Nya yang bermaksud:

“…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan” [Ali ‘Imrân-3 : 134]

Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk melakukan berbagai sebab yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan baginda memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.

Diantara cara yang diajarkan Nabi SAW dalam memadam amarah adalah dengan mengucapkan: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ .

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad r.a, ia berkata:
Kami sedang duduk bersama Nabi SAW tiba-tiba ada dua orang laki-laki saling mencaci di hadapan baginda. Seorang dari mereka mencaci temannya sambil marah, wajahnya memerah, aku mengetahui satu kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya apa yang ada padanya (amarah). Seandainya ia mengucapkan,
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)”. Para sahabat berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan Rasulullah?” Laki-laki itu menjawab, “Aku bukan orang gila”]

Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu syaitan hendaklah kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman yang bermaksud:

“Dan jika syaitan datang mengodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui” [al-A’râf-7 : 200]

Nabi SAW mengajarkan agar orang yang marah untuk duduk atau berbaring. Baginda bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.
“Apabila seorang dari kamu marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah hilang darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring”

Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang orang berbaring itu sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.

Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam dirinya dan tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan perbuatannya.

Rasulullah SAW mengajarkan apabila seseorang marah hendaklah ia diam, Baginda bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ.
“Apabila seorang dari kamu marah, hendaklah ia diam”

Ini juga merupakan penawar yang mujarab bagi amarah, karena jika orang sedang marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji, melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang kesan negatifnya besar dan ia akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua keburukan itu hilang darinya.

Menurut syari’at Islam bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah SAW bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
“Orang yang gagah itu bukanlah yang pandai bergusti, tetapi orang yang gagah ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah”.

Imam Ibnu Batthal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh

Rasulullah SAW menjelaskan tentang keutamaan orang yang dapat menahan amarahnya, baginda bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.
“Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari Kiamat Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai”

Rasulullah SAW pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ.
“Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga”

Perkara yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah keinginannya itu selaras untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah Ta’ala baginya, bisa jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang baik sehingga ia diberi pahala karenanya. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak gangguan terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam terhadap orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman Allah Ta’ala berfirman yang bermaksud:

“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin)… ” [at-Taubah-9 : 14-15]

Ini adalah keadaan Rasulullah SAW, baginda tidak balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup menahan kemarahan beliau. Dan baginda belum pernah memukul pembantu dan wanita dengan tangan nya, namun baginda menggunakan tangan nya ketika berjihad di jalan Allah.

‘Aisyah r.h ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW maka ia menjawab, “Akhlak baginda adalah Al-Qur`ân.” Maksudnya baginda beradab dengan adab Al-Qur`ân, berakhlak dengan akhlaknya. Baginda redha karena keridhaan Al-Qur`ân dan marah karena kemarahan Al-Qur`ân.

Karena sangat pemalunya, Nabi SAW tidak menghadapi siapa pun dengan sesuatu yang beliau benci, bahkan ketidaksukaan baginda terlihat di wajah nya, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah SAW lebih pemalu daripada gadis yang pinggitan. Apabila baginda melihat sesuatu yang dibencinya, kami mengetahuinya di wajahbaginda ”

Ketika Nabi SAW diberi tahu Ibnu Mas’ud r.a tentang kata-kata seseorang sahabat, “Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa berat bagi baginda, wajah nya berubah, baginda marah, dan hanya bersabda:
لَقَدْ أُوْذِيَ مُوْسَى بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ.
“Sesungguhnya Musa disakiti dengan yang lebih menyakitkan daripada ini, namun baginda bersabar”

Apabila Rasulullah SAW melihat atau mendengar sesuatu yang membuat Allah SWT murka, maka baginda marah karenanya, menegurnya, dan tidak diam. Baginda pernah memasuki rumah ‘Aisyah r.h dan melihat tirai yang terdapat gambar makhluk hidup padanya, maka wajah baginda berubah dan baginda mengoyakkanya lalu bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras adzabnya pada hari Kiamat ialah orang yang melukis gambar-gambar ini.”

Ketika Nabi SAW diberi pengaduan tentang imam yang solatnya panjang dengan orang ramai hingga sebagian mereka terlambat, baginda marah, bahkan sangat marah, menasihati mereka dan menyuruh meringankan).

Ketika Nabi SAW melihat kahak di kiblat masjid, baginda marah dan membuangnya, serta berkahak di depan wajahnya ketika shalat.”

Diantara do’a yang baginda SAW baca ialah:
أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى.
“Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha”

Ini sangat mulia, yaitu seorang hanya berkata benar ketika ia marah atau ridha, karena sebagian manusia jika mereka marah , mereka tidak bolih berhenti dari apa yang mereka katakan.

Dari Jabir r.a, ia berkata, “Kami pernah berjalan bersama Nabi r.a pada satu peperangan, dan ada seorang laki-laki berada di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan lambat kemudian orang Anshar itu berkata, ‘Berjalanlah semoga Allah melaknatmu.’ Rasulullah SAW bersabda kepada orang itu, ‘Turunlah engkau dari unta tersebut. Engkau jangan menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kamu jangan mendoakan keburukan bagi diri kamu dakan keburukan bagi harta kamu. Tidaklah kamu berada di satu waktu jika waktu tersebut permintaan diajukan, melainkan Allah SWT akan mengkabulkan bagi kamu.

Ini semua menunjukkan bahwa doa orang yang marah akan dikabulkan jika bertepatan dengan waktu yang di perkenankan dan pada saat marah ia dilarang berdoa bagi keburukkan dirinya, keluarganya, dan hartanya.

Seorang ulama Salaf berkata, ”Orang yang marah jika penyebab marahnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan perjalanan, atau penyebab amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia tidak boleh dicela karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak berdosa jika yang keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang mengandung herdik, caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan Nabi SAW, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia, aku ridha seperti ridhanya manusia dan aku marah seperti marahnya manusia. Orang Muslim mana saja yang pernah aku caci dan aku sebat, maka aku menjadikannya sebagai penebus (dosa) baginya.”

Sedang jika yang keluar dari orang yang marah adalah kekufuran, kemurtadan, pembunuhan jiwa, mengambil harta tanpa alasan yang benar, dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa orang marah tersebut mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika yang keluar dari orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan hamba, dan sumpah, ia dihukum[

Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki berkata, “Aku mentalaq isteriku dengan talak tiga ketika aku marah.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak boleh menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah mendurhakai kepada tuhanmu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu sendiri.”

Diriwayatkan dengan sohih dari banyak Sahabat bahwa mereka berfatwa sesungguhnya sumpah orang yang marah itu sah dan di dalamnya terdapat kaffarath.

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Talak yang selaras dengan Sunnah ialah suami mentalak isterinya dengan talak satu dalam keadaan suci dan tidak digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut dengan istrinya selama tiga kali haid. Jika ia ingin rujuk dengan isterinya, ia berhak melakukannya. Jika ia marah, isterinya menunggu tiga kali haid atau tiga bulan jika ia tidak haid agar marahnya hilang.” Al-Hasan rahimahullah berkata lagi, “Allah menjelaskan agar tidak seorang pun menyesal dalam perceraiannya seperti yang diperintahkan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Qadhi Isma’il.

BAGAIMANA MENGUBATI AMARAH JIKA TELAH MENJULANG?
Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan syaitan dengan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang di rejam.
2. Mengucapkan perkataan-perkataan yang baik, berzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengkubar-kubarkan amarah.
4. Dianjurkan berwudhu
5. Merubah kedudukan apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat buruk dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
.

PENGAJARAN HADITH
1. Bersemangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim semestinya mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan yang sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda baginda “Engkau jangan marah!” Sebab, amarah dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang besar apabila seseorang berbuat dengan menuruti hawa nafsu untuk membela dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang buruk, dan larangan tersebut mewajibkan perintah berakhlak yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah, untuk membela kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak membinasakan.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang di rejam, dan melakukan apa yang disebutkan di atas tentang ubat memadam amarah.
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
( Di edit olih Ustaz Ahmad Awang)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] (no. 6481-6482 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu